Fenomena Rojali: Perilaku Pengunjung Mal yang Membangun Pengalaman Tanpa Transaksi

Fenomena Rojali: Perilaku Pengunjung Mal yang Membangun Pengalaman Tanpa Transaksi

Salah satu tren menarik di dunia ritel adalah fenomena Rojali, singkatan dari “rombongan jarang beli”. Fenomena ini menggambarkan kelompok pengunjung mal yang datang dalam jumlah besar namun jarang atau bahkan tidak melakukan pembelian sama sekali. Meskipun terkesan kontroversial, fenomena Rojali menjadi sorotan utama dalam berbagai media, termasukInsideindonesianews.

Menurut HIPPINDO, asosiasi ritel Indonesia, kehadiran pengunjung tetap di mal masih dianggap sebagai modal utama, meskipun transaksi jual-beli tidak terjadi secara langsung. Fokusnya lebih kepada menciptakan daya tarik agar orang mau berkunjung terlebih dahulu sebelum berbelanja. Pandangan dari segi ekonomi dan sosial juga memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang perilaku Rojali.

Psikolog Kasandra Putranto menjelaskan bahwa perilaku Rojali sebenarnya berkaitan erat dengan hierarki kebutuhan manusia: banyak orang pergi ke mal bukan hanya untuk berbelanja, melainkan untuk bersosialisasi, refreshing, atau mencari hiburan, hal-hal yang semakin dicari pasca-pandemi. Para ekonom juga mencatat bahwa meskipun Rojali tidak langsung berdampak pada penjualan produk fashion, mereka justru dapat meningkatkan omzet sektor Food & Beverage (F&B) karena biasanya mereka tetap membeli camilan atau minuman saat nongkrong.

Asal-usul & Konteks Sosial

Asal-usul istilah Rojali bermula sebagai bahasa gaul perkotaan yang mengkritisi perilaku anak muda dan kelompok pengunjung mal yang lebih suka jalan-jalan tanpa berbelanja. Istilah ini merupakan akronim dari “rombongan jarang beli”, sebuah frasa yang mudah dipahami dan cepat populer di kalangan masyarakat serta media sosial. Dalam ranah linguistik, konsep Rojali sejalan dengan kecenderungan masyarakat Indonesia yang gemar menggunakan singkatan unik untuk menggambarkan fenomena sosial, seperti halnya istilah Rojaba (rombongan jarang bayar) atau Sultan untuk pelanggan yang gemar berbelanja secara berlebihan.

Penampilan fenomena ini semakin mencuat di kota-kota besar terutama setelah pusat perbelanjaan menjadi tempat rekreasi favorit keluarga dan kaum muda. Mal tidak lagi hanya menjadi tempat belanja semata, melainkan juga sebagai ruang sosial untuk nongkrong bersama teman, menikmati hiburan, mencari spot foto Instagramable, atau sekadar “cuci mata”. Walaupun tujuan awal kunjungan bukan untuk berbelanja, fungsi sosial dan psikologis mal tetap terpenuhi dengan hadirnya para pengunjung Rojali.

Dari sudut pandang sosial, perilaku Rojali dipengaruhi oleh beberapa faktor kunci seperti budaya nongkrong di kalangan masyarakat perkotaan Indonesia yang menjadikan mal sebagai tempat aman dan nyaman untuk bersosialisasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh gaya hidup aspiratif dimana banyak individu ingin merasakan atmosfer modern tanpa harus mengeluarkan biaya besar serta dampak positif dari kehadiran digital dan media sosial yang membuat aktivitas window shopping atau foto-foto di mal menjadi konten vital bagi eksistensi online mereka.

Baca Juga: Rencana Pembangunan Vila di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo

Fenomena Rojali dari Sisi Ekonomi

Dari sisi ekonomi, fenomena Rojali menyoroti bahwa pola konsumsi masyarakat tidak selalu dapat dilihat dari angka penjualan langsung. Kehadiran para pengunjung di mal meskipun tanpa adanya transaksi pembelian memiliki nilai ekonomi tersendiri. Dalam konteks ritel modern saat ini jumlah kunjungan sangat penting bagi para penyewa maupun pengelola pusat perbelanjaan karena semakin tinggi jumlah pengunjung maka akan semakin besar kemungkinan adanya pembelian walaupun tidak semua pengunjung tersebut akhirnya membeli produk.

Perilaku Rojali sering kali diasosiasikan dengan praktik showrooming dimana konsumen melihat-lihat barang secara langsung di toko namun akhirnya melakukan pembelian secara online karena harga lebih murah. Dampak ekonominya pun bervariasi tergantung sektor usaha yang bersangkutan. Bagi sektor fashion dan produk ritel non-F&B misalnya, kehadiran para Rojali dapat dianggap sebagai tantangan karena tingkat konversi pembelian relatif rendah namun bagi sektor Food & Beverage (F&B) justru sebaliknya dimana para Rojali cenderung tetap melakukan pembelian camilan atau minuman ringan sehingga tetap memberikan kontribusi pada pendapatan mal secara tidak langsung.

Keberadaan para Rojalidi pusat perbelanjaankecil ternyata memiliki manfaat tersendiri dalam menjaga daya tarik pusat perbelanjaan tersebut. Mal yang ramai cenderung lebih menarik bagi investor maupun penyewa toko baru sehingga keramaian dapat menciptakan efek domino dimana semakin ramai sebuah mal maka akan semakin diminati sebagai destinasi rekreasi dan konsumsi oleh masyarakat perkotaan.

Terlepas dari pandangan negatif bahwa para Rojalihanya datang sekadar “cuci mata”, pada kenyataannya mereka memiliki peranan penting dalam menjaga vitalitas industri ritel secara keseluruhan. Mereka merupakan potensi pasar laten yang apabila dikelola dengan strategi pemasaran yang tepat bisa menjadi konsumen aktif di masa depan.

Fenomena dari Sisi Marketing

Kehadirannya para pengunjung meski tanpa melakukan pembelian langsung dinilai sebagai langkah awal strategis dalam menarik minat konsumen terhadap pusat perbelanjaan tersebut. Pendekatan omnichannel marketingsebagai integrasi antara penjualan offline (fisik) dengan online (daring) menjadi salah satu strategi pemasaran utama dalam mengoptimalkan interaksi awal menjadi transaksi nyata pada waktu mendatang. Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan bahwa fenomena Rojalidimana konsumen mendapatkan pengalaman produk di mallalu melakukan pembelian secara daring adalah cermin dari perilaku konsumen modern sehingga pendekatan omnichannel merupakan respons pemasaran yang tepat untuk mengakomodir tren tersebut.

Post Comment